Rabu, 10 November 2010

Sistem Perkawinan Masyarakat Itawaka

Perkawinan menurut adat, masyarakat desa Itawaka merupakan urusan dari dua kelompok kekerabatan, yaitu mata rumah dan famili, mereka ikut menentukan serta berfungsi sebagai penyelenggara dari perkawinan. Disadari bahwa perkawinan bukan hanya sekedar untuk menemukan kebutuhan biologis dan kehendak para individu, tetapi lebih dari itu merupakan suatu hubungan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan.

Menurut Prakoso (1987) bahwa, perkawinan merupakan suatu ikatan untuk membina rumah tangga menuju keluarga sejahtera, bahagia dimana kedua suami istri memikul amanat dan tanggung jawab. Oleh karenanya akan mengalami suatu proses psikologis yang berat, yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan. Untuk memasuki suatu proses perkawinan maka perlu dipahami bahwa perkawinan bukan hanya merupakan suatu cinta kasih, tetapi yang dibutuhkan adalah pemikiran yang rasional yang dapat meletakan suatu dasar yang kokoh. Perkawinan merupakan suatu proses awal dan perwujudan bentuk-bentuk kehidupan setiap insan manusia.

Dalam Undang-Undang Perkawinan No, I tahun 1974, bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Bertolak dari pengertian dimaksud, maka scsungguhnya tujuan dari perkawinan tidak hanya dilihat dari segi lahiriah saja, tetapi sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami-istri dengan tujuan untuk membina rumah tangga ke arah kekal dan bahagia.

Pengertian kekal dan bahagia mengandung arti bahwa, perkawinan itu haruslah berlangsung sekali dan seumur hidup, serta tidak boleh berakhir begitu saja, dan perkawinan itu janganlah untuk kepentingan diri pribadi dan materialisme tetapi perkawinan itu hendaknya melahirkan hubungan yang harmonis diantara suami dan istri.

Disetiap daerah, dimana perkawinan itu dilaksanakan tidaklah terlepas dari peraturan-peraturan dan hukum adat yang berlaku. Sehubungan dengan itu, maka Soekamto (1987) mengemukakan bahwa hukum adat merupakan keseluruhan adat yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat berupa kesusilaan, kebiasaan, dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.

Bertolak dari pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan menurut hukum adat adalah suatu ikatan seorang pria dan wanita yang terkait sebagai suami-istri dalam membentuk keluarga yang diatur oleh norma-norma dan aturan-aturan kesusilaan serta kebiasaan yang lazim diberlakukan pada lingkungan masyarakat ( Papilaya. Josef , 2005 )

Dalam pemahaman inilah, maka Hadikusumah (1995) menyebutkan bahwa azas dari suatu perkawinan yaitu perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga rumahtangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal. Perkawinan tidak saja harus dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat. Masyarakat di desa Itawaka mengenal tiga jenis perkawinan, yaitu: "kawin minta", "kawin Lari", dan "kawin masuk".

1. Proses Perkawinan  “Kawin Minta”.
Bagi masyarakat desa Itawaka atau pula pada masyarakat Ambon umumnya, kawin minta terjadi apabila seorang pemuda telah menemukan seorang gadis yang akan dijadikan istri. Proses ini merupakan suatu perkawinan terhormat. Pada saat seorang pemuda menemukan seorang wanita dan telah bertunangan maka ia akan memberitahukan kepada orang tuanya, kemudian mereka mengumpulkan anggota keluarga atau famili untuk membicarakan hal itu dan membuat rencana perkawinan.

Materi perbincangan biasanya meliputi: penentuan waktu untuk "masuk minta" (meminang si gadis), penentuan harta kawin, serta menentukan waktu pelaksanaan upacara perkawinan dan lain sebagainya. Apabila semuanya disetujui, kemudian dikirimkan surat atau delegasi kepada orang tua si gadis untuk menentukan waktu bagi kunjungan/melamar Orang tua si gadis mengirim kabar kembali dengan waktu dan harinya setelah keluarga dari si gadis berunding. Apabila orang tua si gadis tidak setuju maka pendekatan ini dibatalkan, namun hal ini jarang sekaii terjadi, sebab orang tua keluarga pemuda telah mempertimbangkan jawaban karena sebelumnya antara anak gadis dan pemuda itu sudah memberitahukan, khususnya orang tua pemuda bahwa orang tua si gadis akan menerimanya. Seandainya jawaban orang tua si gadis menolak lamaran si pemuda, tentunya antara pemuda dan si gadis biasanya mengambil cara lain, yaitu kawin lari. Bila orang tua si gadis memberi jawaban setuju atau menerima, maka keluarga/famili dari orang tua pemuda kembali melakukan kunjungan secara resmi untuk membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan persiapan perkawinan.

Pada waktu yang telah ditentukan, rombongan keluarga si pemuda datang ke rumah si gadis untuk meminangnya. Peminangan yang sering terjadi di desa Itawaka adalah secara tulisan melalui surat. Surat itu lalu diletakkan di dalam sebuah baki, ditutup saputangan berwama merah berukuran 60 x 60 cm, yang oleh masyarakat setempat disebut “Lenso Berang”. Dengan menggunakan lampu gas (pada waktu dulu menggunakan obor) keluarga atau famili membawa surat tersebut ke rumah si gadis. Orang yang membawa surat tersebut yaitu ‘dulunya kawin melalui proses "kawin minta". Apabila orang tua si gadis menerima pinangan itu maka tiga hari kemudian orang tua si gadis akan mengirim utusan untuk membawa surat balasan dengan jawaban bahkan sebagai tanda bahwa pinangan itu di terima.

Dalam kurun waktu satu sampai dua minggu setelah surat balasan dari keluarga si gadis diterima yang menyatakan bahwa pinangan itu diterima, maka orang tua si pemuda lalu mengumpulkan sanak keluarga/famili untuk membicarakan rencana perkawinan.  Rencana perkawinan tersebut meliputi:
  1. Waktu pelaksanaan pesta
  2. Tempat pelaksanaan pesta
  3. Kaum kerabat yang akan diundang
  4. Persiapan biaya
  5. Para pekerja
  6. Pembagian tugas kerja, dan
  7. Jenis konsumsi

Dalam perkawinan "masuk minta", masyarakat desa Itawaka melaksanakan jenis adat perkawinan, yaitu "adat pembayaran harta kawin" dan “tara tatu".  Adakalanya pelaksanaan dilakukan mendahului pesta perkawinan. Hal ini dilakukan untuk mempersingkat waktu perkawinan ketika akan dilaksanakan di kantor pencatatan sipil dan pemberkatan nikah secara ritual di gereja. Proses pembayaran harta kawin dan Tara Tatu akan dijelaskan pada tata cara pembayaran harta kawin dan Tara Tatu.

2. Proses Perkawinan  “Kawin Lari”.
“Kawin lari” atau lari bini adalah sistem perkawinan yang paling lazim, terutama disebabkan pemuda dan pemudi didesa Itawaka cenderung menempuh jalan pintas. Untuk menghindari prosedur perundingan dan upacara yang memakan waktu dan biaya yang besar.
           
Kawin lari sesungguhnya dapat dipandang sebagai cara yang kurang baik, dan hal ini umumnya kurang disetujui oleh pihak keluarga/famili si gadis. Tetapi bagi keluarga/famili dari si pemuda kawin lari ini lebih disukai, terutama karena pemuda tersebut mungkin merasa kecewa sebab orang tua belum menyetujui si gadis kawin atau sebaliknya, Disamping itu mungkin lamaran si pemuda ditolak dan untuk menghindari malu dari keluarga pemuda karena perkawinan anaknya ditolak oleh orang tua si gadis. Adakalanya kawin lari tersebut di setujui oleh orang tua si gadis bahkan sering dianjurkannya untuk menyingkat waktu dan mengurangi biaya yang akan dikeluarkan guna penyelenggaraan pesta perkawinan.

Dalam pada itu, kerapkali keluarga/famili dari si pemuda proaktif.  tetapi kalau tidak, dapat juga tanpa sepengetahuan keluarga dan yang mendukung adalah teman-teman si pemuda dan juga orang tua yang menaruh simpati kepada si gadis yang selama masa pertunangan telah mengetahui dan menyetujui hubungan mereka ketika si gadis menyetujui dengan cara ini, pada waktunya si pemuda sendiri atau dengan pengantaran teman dekatnya ataupun saudaranya, membawa lari si gadis dari kamarnya pada malam hari dengan membawa semua pakaian dan perlengkapan seadanya.

Melalui proses ini, si pemuda telah membuat sepucuk surat yang isinya memuat pemberitahuan kepada orang tua si gadis bahwa anak gadisnya telah dilarikan. Surat tersebut biasanya diletakkan diatas tempat tidur atau diatas meja. Bila pelarian di ketahui orang tua maka surat menerangkan siapa siapa si pemuda dan di tegaskan bahwa si gadis berada dalam perlindungan orang tua si pemuda bila tanpa pemberitahuan orang tua dan surat maka tentunya orang tua si gadis akan mencarinya.

Walaupun kawin lari sepengetahuan orang tua si gadis dengan menggunakan surat, menurut adat orang tua si pemuda bersama famili keesokkan harinya selama tiga hari berturut-turut harus melaksanakan acara “bakubae”. Pendekatan dengan cara ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut dan pada hari ketiga orang tua si pemuda harus membayar harta. Biasanya yang bertindak sebagai juru bicara menggunakan tuang kerja. Seringkali setelah harta dibayar, beberapa hari kemudian dilangsungkan pesta perkawinan dalam bentuk nikah berdasarkan peraturan agama dan pencatatan sipil. Namun ada pula yang menunda sampai beberapa bulan bahkan satu atau dua tahun.

Ada bentuk kawin lari yang lain, yaitu kawin lari tanpa menggunakan surat pembentahuan kepada orang tua. Hal ini kalaupun terjadi karena si gadis takut membecitahukan kepada orang tuanya ataupun mungkin orang tua si gadis tidak setuju. Karena antara si pemuda dan si gadis sudah saling mencintai maka terwujudlah kawin lari. Namun demikian, menjadi konsekuesi bagi orang tua pemuda untuk memberitahukan kepada orang tua si gadis.

Sebagai pembicaraan biasanya menggunakan orang yang dipandang bisa mewakili keluarga si pemuda atau mengunakan dua orang Tuang karja.  Tuang kerja dipakai sebagai juru bicara dan mereka ditugaskan oleh orang tua dan keluarga si pemuda untuk memberitahukan orang dan keluarga si gadis. Pembayaran harta kawin tidak perlu dilakukan pada saat itu, akan letapi dapat ditunda.

3. Proses Perkawinan “Kawin Masuk”.
Kawin masuk atau dalam bahasa setempat disebut dengan “Kawin Manua”.  Pada perkawinan ini, orang tua si gadis berkeinginan agar pengantin laki-laki atau si pemuda tinggal bersama dengan si gadis dengan orang tuanya. Alasan utama untuk orang tua si gadis mengambil si pemuda atau suaminya untuk tinggal bersama adalah karena si gadis anak tunggal satu-satunya. ia tidak memiliki saudara laki-laki atau perempuan lainnya, sedangkan orang tua si gadis memiliki banyak harta, serta dusun atau tanah yang luas dan tidak ada yang mengelolanya.

Karena si pemuda akan tinggal dengan orang tua si gadis, maka pada acara kawin lari pembayaran harta kawin tidak dilaksanakan. Segala sesuatu yang diperoleh dalam proses perkawinan menjadi milik keluarga si gadis, bahkan seluruh anak yang didapat dalam perkawinan memikul marga atau fam si wanita.

Menurut Soebyakto (1976),  3 (tiga) alasan utama masyarakat Ambon yang merelakan anak prianya "kawin masuk" mengikuti marga si gadis adalah;
1.  Kaum berabat si pemuda tidak dapat membayar mas kawin secara adat.
2.  Keluarga si gadis hanya beranak tunggal dan tidak punya anak laki-laki.
3.  Karena ayah dari si pemuda tidak sudi menerima menantu perempuannya, di sebabkan perbedaan status atau alasan yang lainnya.

1 komentar: